AGEN PEMBAHARU

AGEN PEMBAHARU

Sabtu, 30 November 2013

SEKOLAH KAMPUNG : Alternatif Pendidikan Anak Usia Dini di Kampung


Sekolah kampung menjadi solusi pada wilayah dengan tingkat Pendidikan yang masih rendah. Konsep sekolah kampung yang dilakukan oleh ICDP di Sarmi mendapat apresiasi yang besar ketika di presentasikan di Maluku pada Forum KTI ke 5.
Program SK-AUD atau Sekolah Kampung-Anak Usia Dini ini sudah dilakukan oleh Institut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat atau IPPM sejak tahun 2007 mendapatkan dukungan dana dari UNDP melalui program PCDP. Program ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan lokal terkait pendidikan anak usia dini. Di Kabupaten Sarmi, partisipasi pendidikan masih perlu ditingkatkan, terutama di kampung-kampung. Angka partisipasi pendidikan untuk SD, SLTP dan SLTA di Sarmi adalah 94.1%, 67.6% dan 24.2% (BPS, 2009). Namun sekalipun angka partisipasi tersebut tidak rendah, namun angka menamatkan sekolah hanya 34.3%. Seperti yang dituturkan oleh para guru SD, anak-anak yang tidak dipersiapkan untuk mengikuti pendidikan di SD umumnya mudah putus sekolah. Pendidikan di Taman Kanak-Kanak atau PAUD akan sangat membantu anak-anak mempersiapkan diri mengikuti pendidikan di SD. Namun sayangnya TK maupun PAUD tidak tersedia di kampung-kampung di Papua.
Tanpa bermaksud menjadi pengganti Pendidikan formal yang menjadi tanggung jawab sekolah, IPPM telah mendirikan tiga Sekolah Kampung di tiga kampung (Betaf, Beneraf dan Yamna) di Kecamatan Pantai Timur, Kabupaten Sarmi dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam pelaksanaan Sekolah Kampung.
Pada awal kegiatan, IPPM melakukan sosialisasi program dan melakukan studi penggalian kebutuhan pendidikan dan perencanaan bersama masyarakat. Tujuan dari sosialisasi dan perencanaan partisipatif adalah untuk mendapatkan komitmen dan dukungan pemangku kepentingan lokal terhadap pelaksanaan Sekolah Kampung dan mencapai tujuan bersama.
Setelah perencanaan bersama masyarakat, IPPM merekrut masyarakat lokal untuk menjadi fasilitator pendidikan di Sekolah Kampung. Perekrutan ini merupakan tahap penting dalam memastikan keberlanjutan Sekolah Kampung. Fasilitator setempat akan menetap di kampung dan meneruskan kegiatan belajar di Sekolah Kampung, sekalipun nanti IPPM tidak lagi bekerja di kampung mereka. Dalam merekrut fasilitator, IPPM tidak memilih fasilitator, melainkan masyarakat. Untuk memfasilitasi kegiatan belajar di Sekolah Kampung tidak dibutuhkan guru bersertifikat. Masyarakat kampung yang punya pendidikan yang cukup serta dapat berinteraksi baik dengan anak-anak dapat menjadi fasilitator Sekolah Kampung. Para orang tua murid juga dapat menjadi fasilitator Sekolah Kampung. Hingga saat ini IPPM telah merekrut 30 fasilitator lokal untuk tiga Sekolah Kampung. Setelah direkrut, para fasilitator dilatih aspek-aspek praktis belajar-mengajar, terutama belajar-mengajar bersama anak-anak.
Masyarakat terlibat aktif dalam keberlangsungan Sekolah Kampung. Mereka menyediakan bangunan sekolah dengan memanfaatkan dana pembangunan kampung (Dana RESPEK). Mereka juga bergotong-royong membangun sekolah dan alat permainan edukatif dengan menggunakan bahan-bahan lokal. Mereka juga terlibat dalam pengelolaan kegiatan Sekolah Kampung. IPPM berperan sebagai katalisator terutama dalam pembentukan komite pengelola dan pengembangan kapasitas fasilitator lokal.
Sekolah Kampung juga melibatkan pemangku kepentingan setempat, seperti Dinas Pendidikan Sarmi, pemerintah Distrik Pantai Timur dan aparat kampung. Selain itu juga melibatkan tokoh gereja, tokoh adat dan perempuan. Hingga tahun 2010 Sekolah Kampung telah memberikan manfaat langsung kepada 134 anak balita, dan jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun. Sekolah Kampung juga memberikan manfaat bagi mereka yang terlibat langsung dalam pelaksanaanya, seperti komite dan pengelolanya.
Kegiatan di Sekolah Kampung berlangsung tiga kali seminggu, yaitu setiap hari Senin, Rabu dan Jum'at. Para fasilitator mendorong anak-anak untuk belajar. Ada dua kelompok anak yang terlibat dalam Sekolah Kampung, yaitu Kelompok Belajar dan Kelompok Bermain. Kelompok Belajar dibagi menjadi: kelompok pemula (3-4 tahun) dan kelas lanjut (5 tahun ). Bahan belajar berupa: bahan cetak (huruf, angka, poster dan lain-lain); bahan elektronik (kaset, tape recorder), bahan habis pakai (kertas, bahan lukis, alam dan lain-lain); Alat Permainan Edukatif (APE) dan Alat Peraga Pendidikan (APP). Khusus untuk mendukung dan membantu anak dalam melatih jasmani yang sehat dan mengembangkan ketrampilan dalam berinteraksi, di setiap SK-AUD dibuat Tempat Bermain Anak (TBA) yang digunakan sekali dalam seminggu. Khusus Pondok Bacaan Anak (PBA) sedang dipersiapkan. Setiap bulan pengelola SK-AUD memberikan makanan tambahan bagi peserta SK-AUD berupa susu dan kacang hijau. Dukungan dari pemangku kepentingan setempat berperan penting dalam keberhasilan Sekolah Kampung. Pemerintah daerah dan juga DPRD sangat mendukung Sekolah Kampung. Pemerintah kampung mengalokasikan dana mereka untuk biaya operasional Sekolah Kampung. Dengan komunikasi yang intensif dengan masyarakat, mereka mau terlibat aktif dalam Sekolah Kampung. Hal ini akan memudahkan keberlanjutan Sekolah Kampung.
Dari 134 peserta peserta SK-AUD semuanya kini telah bersekolah di SD. Para guru mereka di SD mengatakan bahwa anak-anak dari Sekolah Kampung lebih cepat menerima pelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa Sekolah Kampung telah menjadi pendekatan yang tepat untk mempersiapkan anak kampung untuk bersekolah di SD.
Sekolah Kampung telah disosialisasikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten. Dengan melihat dampak nyata dari Sekolah Kampung, Pemerintah Provinsi Papua setuju untuk mereplikasi Sekolah Kampung ke wilayah lain di Papua.
Sumber: undp-pcdp 

KURSUS SEBAGAI SALAH SATU PROGRAM PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


 

Pembukaan Kursus Bakery


Kegiatan untuk memberdayakan keterampilan masyarakat berupa kemampuan membuat karya cipta, terus digalakkan di PKBM Negeri 26 Bintaro. Salah satunya adalah bagaimana masyarakat mampu berkarya meskipun hanya dengan membuat Kue berupa bakery. Karenanya, hari ini tepatnya pukul 11.30 WIB Ny Wartilah membuka kursus membuat bakery bagi warga sekitar PKBM Negeri 26 Bintaro yang rencananya akan dilangsungkan setiap hari Sabtu selama 10 pertemuan.
“Kita berharap agar para ibu-ibu bisa membuat kue secara profesional melaui kursus ini. Selantutnya setelah mengikuti kursus ini, mereka diharapkan mampu mengelola kemapuan SDM dibidang pembuatan kue ini untuk untuk menambah income keluarga.” Ujar Ny. Wartilah dalam sesi pembukaan kursus dihadapan 40 orang peserta kurus hari ini, Sabtu, 24 Mei 2008.
Pelatih yang ditunjuk pada kursus bakery kali ini adalah Bapak Agus Susanto, guru SMK Negeri 27 Jakarta. “Saya memang lulusan perhotelan namun saat sekolah di SMK dulu bidangnya adalah bakery. Karena itu kemampuan bidang pembuatan kue ini tetap saya salurkan untuk ditularkan kepada masyarakat melalui kursus-kusus seperti di PKBM ini.” Ujar Pak Agus di sela-sela kursus.
Dengan berpakaian putih ala koki, di hadapan ibu-ibu peserta kursus, Pak Agus memberikan bimbingan secara langsung. Ada salah satu ibu tengah menggiling adonan yang sudah jadi untuk dipipihkan kemudian digulung menggunakan sebuah silindir agar tipis. Namun karena mereka belum mahir, gulungan adonan itu bentuknya tidak karu-karuaan. Dengan sigap Pak Agus membetulkan bagaimana cara menggulung dengan benar. Para peserta kursus yang semuanya ibu-ibu itu kemudian mengerubuti bagaimana cara menggulung adonan dengan benar.
Alat-alat yang digunakan cukup sederhana terdiri dari kompor, loyang, open dan gilingannya menggunakan manual tidak memakai alat elektronik berupa mixer karena harganya mahal. “Kalau saya menggunakan alat mixer hawatir para ibu nantinya setelah selesai kurus justru merasa terbebani padahal mereka kebanyakan tidak memiliki alat tersebut.” Ujar Pak Agus.
Menurutnya, dengan menggiling tepung secara manual saja sudah bisa dan bagus apalagi dengan mesin mixer. Namun jika mereka mampu membeli nanti, tentu hasilnya akan lebih sempurna. Kata Pak Agus memberi alasan.
Diharapkan dengan kursus yang didanai oleh proyek diknas bagi masyarakat ini bisa dipergunakan dan bermanfaat kepada masyarakat. Mereka yang telah ikut kurus tetap bisa berkonsultasi kepada tutornya jika suwaktu-waktu masih kesulitan mempraktekkan sendiri. Disampingi tu sebagai upaya agar mereka terus berlatih, para peserta kurus dibagikan diktat kursus membuat kue yang terdiri dari 11 bidang. Penyusun diktat itu sendiri adalah Pak Agus. (Kurt)

CONTOH PELATIHAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

PEWARNA BATIK ALAMI LEBIH AMAN
Monday, 07 October 2013 13:11

MUTU: Perajin batik se Kota Batu, sedang mengikuti pelatihan mutu warna batik alami di bimbing pemilik Sanggar Geta asal Madura, Yohan, siang kemarin.

BATU- Pelatihan mutu pewarna batik alami dilakukan Sanggar Raja Wijaya Jalan Desa Pandanrejo 2 Kecamatan Bumiaji, Senin kemarin. Acara diikuti oleh 20 orang pengusaha batik asal Kota Batu yang digelar oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kota Batu. Kain batik yang belakangan ini kian berpotensi di pasaran itu, mendorong para pengusaha untuk berkomitmen melestarikannya.
Namun demikian diperlukan terobosan baru dalam menciptakan corak batik, agar secara total tak menggunakan pewarna dari bahan kimia. Kepala Diskoperindag Kota Batu, M Chori mengatakan, pelatihan membatik sudah biasa, namun bila pelatihan mutu pewarna alami baru kali kali dilakukan. ”Hal ini untuk mengurangi bahan-bahan kimia yang digunakan saat pembuatan batik,” jelasnya disela pelatihan.
Pemilik Sanggar Batik Geta asal Madura, Yohan ditunjuk menjadi fasilitator untuk berbagi pengalaman membuat pewarna batik yang alami. ”Saya diminta memberikan pengalaman kepada para perajin batik Kota Batu, dan dari informasi yang didapat rata-rata perajin masih memakai bahan kimia untuk pewarnaan,” ungkap pria berkacamata ini.
Menurutnya, pada warna alami dilakukan dengan pewarnaannya. Misal kain sebelum dibatik lebih dahulu dimordan atau direbus menggunakan air yang dicampur tawas yang selanjutnya siap diwarnai dan dicanting. Jika menggunakan pewarna alam, bahan-bahannya pun tidak terlalu sulit didapat. Bisa memanfaatkan kulit pohon mahoni, jambal, secang, daun jati, maupun daun mangga.
Hasilnya pun bisa dibandingkan dengan pewarna yang berasal dari bahan kimia. Penggunaan pemarna alami pun aman bagi kulit, sedangkan warna bahan kimia dapat menyebabkan kulit bengkak maupun luka, bahkan bila kena mata bisa menyebabkan buta. ” Saya lebih suka menggunakan pewarna alami, karena selain aman bahan-bahannya pun purah dan mudah didapat. Sedangkan teman teman saya yang pakai pewarna bahan kimia, tangannya terlihat bengkak,” urai pria yang kerap mendapat pesanan kain batik dari luar negeri ini.
Di kesempatan itu, dia juga mengajari cara pembuatan pewarna alami. Misalnya, untuk menghasilkan warna merah bahannya menggunakan kulit secang, kulit mahoni, dan jambal. Bahan bahan tersebut diekstrak lalu difermentasikan selama sebulan. ”Jangan lupa dicampur dengan kapur, agar tidak mudah luntur warnanya,” terangnya kepada Malang Post. (mik/lyo)